Hidup Bersama Raksasa, Tentang Ketimpangan di Perkebunan Sawit

- Selasa, 20 Desember 2022 | 11:00 WIB
Antropolog Universitas Toronto Berkisah Tentang Ketimpangan di Perkebunan Sawit (KABARJAMBIKITO.ID/NET)
Antropolog Universitas Toronto Berkisah Tentang Ketimpangan di Perkebunan Sawit (KABARJAMBIKITO.ID/NET)

Sementara itu, Pujo menilai, perkebunan sawit sejak awal dibangun mendapat subsidi besar-besaran dari penguasa.

Baca Juga: Masuki Usia Dua Dekade, RSPO Cuma Bodohi Petani Sawit?

Buktinya, sejak tahun 1990-an, perusahaan sawit mendapat lahan dengan status hak guna usaha dari negara dengan harga yang sangat murah.

Akibatnya, perkebunan sawit berkembang pesat dan mengubah antropologi masyarakat Indonesia yang sebelumnya merupakan petani sawah atau petani hutan menjadi pekerja di perkebunan sawit besar atau menjadi petani sawit.

Lahan sawit pun terus berkembang hingga saat ini mencapai 22 juta hektar, sekitar 14 juta hektar merupakan lahan produktif dan sisanya lahan yang disiapkan untuk ekspansi sawit.

Baca Juga: Telusuri Rantai Pasok Minyak Sawit, ISPO dan RSPO Perlu Diharmonisasi

Luasan ini mencakup sepertiga dari lahan pertanian di seluruh Indonesia. Ini adalah raksasa yang hanya meninggalkan ruang hidup yang sangat sempit bagi masyarakat,” kata Pujo.

Pernyataan senada disampaikan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, Ahmad Taufan Damanik.

Ahmad Taufan Damanik, mengatakan, pendekatan etnografi dalam buku itu menunjukkan kerakusan perkebunan sawit.

Taufan, yang merupakan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022, menyebut, setelah Sumatera dan Kalimantan, ekspansi perkebunan sawit berlanjut ke Papua.

Baca Juga: Eddy Martono, Dwi Sutoro dan Bambang Aria Wisena Digadang-gadang Pimpin GAPKI tahun Depan

 Banyak konsesi yang diberikan hanya berdasarkan peta dan foto udara tanpa melihat siapa yang ada di tanah itu. Seolah tanah Papua adalah tanah kosong, padahal ada masyarakat dan hukum adat yang berlaku di sana.

 ”Konsesi ini diberikan kepada perusahaan secara besar-besaran dengan luas yang tidak masuk akal. Di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, luas konsesi yang dikeluarkan pemerintah justru lebih luas daripada luas kabupaten itu sendiri,” kata Taufan.

Taufan mengatakan, perkebunan sawit telah menyebabkan kerusakan ekologis, perubahan tata hidup suku asli, dan merampas tanah ulayat masyarakat. Konflik antarmasyarakat pun terjadi karena ada perebutan keuntungan kecil antartokoh masyarakat.”Ini semua adalah aspek hak asasi manusia,” kata Taufan.

Taufan menyebut, Komnas HAM sudah beberapa kali mengusulkan pembentukan komite nasional untuk merevisi kebijakan perkebunan secara mendasar agar berpihak kepada masyarakat kecil. Namun, hal itu tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah secara serius.***

Halaman:

Editor: Edward Gabe

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kolom Entang, Melestarikan Ruang Pertanian

Rabu, 24 Mei 2023 | 06:37 WIB

Kolom Entang, Satu Data Pertanian Indonesia

Rabu, 17 Mei 2023 | 06:00 WIB

Kolom Entang, Menanti Keperkasaan BULOG

Rabu, 10 Mei 2023 | 06:37 WIB

Kolom Entang, Capres Pro Petani

Rabu, 3 Mei 2023 | 08:55 WIB

Kolom Entang, Ukuran Sukses Food Estate

Selasa, 2 Mei 2023 | 06:36 WIB

Kolom Entang, Harga Beras Wajar

Jumat, 28 April 2023 | 07:54 WIB

Kolom Entang, 50 Tahun HKTI

Kamis, 27 April 2023 | 06:38 WIB

Kolom Entang, Gerakan Mengerem Konsumsi Nasi

Rabu, 26 April 2023 | 08:44 WIB
X