Hidup Bersama Raksasa, Tentang Ketimpangan di Perkebunan Sawit

- Selasa, 20 Desember 2022 | 11:00 WIB
Antropolog Universitas Toronto Berkisah Tentang Ketimpangan di Perkebunan Sawit (KABARJAMBIKITO.ID/NET)
Antropolog Universitas Toronto Berkisah Tentang Ketimpangan di Perkebunan Sawit (KABARJAMBIKITO.ID/NET)

SAWITKU-Profesor Tania Murray Li, antropolog dari Universitas Toronto di Kanada dan Profesor Pujo Semedi, antropolog dari Universitas Gadjah Mada meluncurkan buku yang mengulas tentang kehadiran perusahaan perkebunan sawit.

Buku berjudul Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit diluncurkan di Universitas Sumatera Utara, Medan, pada akhir November 2022 lalu.

Buku itu menarik, karena memberi persektif berbeda tentang kehadiran perusahaan perkebunan yang dinilai tidak memberikan kesejahteraan warga.

Baca Juga: Aturan Baru Tarif Bea Keluar CPO dan Produk Turunannya

Sebaliknya kehadiran banyak perkebunan besar milik konglomerat justru menimbulkan konflik dan perampasan hak asasi manusia.

Yang menarik, buku ini ditulis melalui pendekatan etnografi juga disertai penelitian di perkebunan sawit di daerah Tanjung, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, dalam kurun waktu lima tahun. 2010-2015.

Tania berpendapat, perkebunan menghasilkan pendapatan yang besar bagi perusahaan, tetapi hampir seluruhnya dibawa ke luar negeri atau luar daerah.

Baca Juga: Perundingan Indonesia dan UE Terkait CEPA Ditargetkan Capai Kesepakataan Substansial Tahun Depan

“Selain itu, para pekerjanya juga sebagian besar berasal dari daerah lain,” kata Tania.

Akibatnya, uang yang dihasilkan dari sawit sangat sedikit yang berputar di daerah perkebunan.

Ini mengakibatkan banyak daerah sangat lambat pertumbuhan ekonominya meskipun perkebunan sawit sudah puluhan tahun beroperasi di daerah itu.

Baca Juga: Lacak Balak Sawit Perlu untuk Hadapi kampanye Deforestasi Eropa

”Kondisi ini merupakan kontras dari pertanian masyarakat lokal yang semua uangnya berputar di desa yang memunculkan mesin ekonomi baru.

“Di perkebunan sawit yang sudah ada puluhan tahun pun, daerahnya tidak berkembang. Infrastruktur hanya dibangun untuk kepentingan perkebunan saja semata,” kata Tania.

Halaman:

Editor: Edward Gabe

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Kolom Entang, Menipisnya cadangan Beras Pemerintah

Jumat, 24 Maret 2023 | 07:14 WIB

Kolom Entang, Panen Raya Ramadhan dan Idhul Fitri

Senin, 20 Maret 2023 | 08:03 WIB

Kolom Entang, Ulah Adèan ku Kuda Beureum

Minggu, 19 Maret 2023 | 07:12 WIB

Kolom Entang, Fleksibilitas Harga Gabah dan Beras

Selasa, 14 Maret 2023 | 06:31 WIB

Kolom Entang, Jangan Menjudikan Petani

Sabtu, 11 Maret 2023 | 09:06 WIB

Kolom Entang, BUMN Pro Petani

Kamis, 9 Maret 2023 | 06:28 WIB

Kolom Entang, Bongkar Pasang Regulasi

Rabu, 8 Maret 2023 | 10:54 WIB

Kolom Entang, Perang Momentum Harga Beras

Senin, 6 Maret 2023 | 07:48 WIB

Kolom Entang, Falsafah Bendo

Minggu, 5 Maret 2023 | 06:28 WIB

Kolom Entang, Jangan Kecewakan Petani Padi

Jumat, 3 Maret 2023 | 11:31 WIB

Kolom Entang, Krisis Lahan Pertanian

Kamis, 2 Maret 2023 | 05:14 WIB
X